Cari ...

15 November 2016

Pahlawan Pendidikan dari Mandailing

Sejarah singkat Willem Iskandar

Radar Mandailing





Nama asli dari Willem Iskander adalah Sati Nasution dengan gelar Sutan Iskandar. Dia masuk ke agama Kristen di kota Arnhem pada tahun1858. Belajar di Oefenschool di kota Amsterdam negeri Belanda. Sibulus bulus Sirumbuk rumbuk adalah salah satu karya sastra anak terbaik Mandailing Natal pada zamannya.
Setelah tamat dari Amsterdam dia berangkat dengan tujuan Batavia atau Jakarta yang sekarang. Willem Iskander atau Sutan Iskandar berangkat dengan menumpang kapal laut bernama Petronella Catrina pada1861. Dia menemui Gubernur Jendral Mr. Ludolf Anne Jan Wilt Baron Sloet van Beele. Kemudian ia menuju kota Padang. William Iskander menghadap pada Van den Bosche disana.

Lalu meneruskan perjalanan ke Natal. Tiba di Mandailing kembali pada tahun 1862. Tak lama sesudahnya tepatnya di desa Tano Bato yang berada pada 526 M di atas permukaan laut, di mulai mendirikan sekolah untuk anak bangsa sebanyak 4 kelas. Ruang kelasnya terbuat dari bambu dan rumbia.

Pada tahun 1873, ia kembali meninggalkan Mandailing Indonesia untuk menuju negeri Belanda. Tahun 1874 berangkat dari Batavia dengan seorang bernama Banas Lubis. Setelah tiba di Belanda, ia menikah dengan Maria Christina pada 1876. Lalu Willem Iskander meninggal pada tahun1876 itu juga. Beliau dimakamkan di Zorgvlied Begraafplaats, Amsterdam. Inilah riwayat perjalanan Willem Iskander di dunia Pendidikan. Dialah salah seorang yang memberantas kebodohan dan buta aksara di Mandailing.

Hingga sekarang namanya tetap harum di Sumatera Utara, khususnya di Mandailing Natal. Banyak sekolah SD, SMP atau SMU yang melukiskan gambar dan juga mencantumkan kutipan kutipan isi karangan Willem Iskander di dinding sekolah. Dan bahkan ada yang menamai sekolahnya dengan nama sekolah Willem Iskander seperti SMEA dan SMK.


Sumber : Berbagai Situs

Patung Sangkalon Salah Satu Bukti Peninggalan Sejarah di Mandailing

Bukti Peninggalan Sejarah di Mandailing

Radar Mandailing


Patung Sangkalon biasa didudukkan di depan rumah raja-raja di Mandailing, lambang keadilan masyarakat Mandailing dahulu dilaksanakan di daerah itu. Patung yang dipanggil “Si pangan anak si pangan boru, ”Artinya, “Si pemakan anak lelaki, si pemakan anak perempuan” ini perumpamaan tentang hukum dan keadilan harus ditegakkan meskipun terpaksa membunuh anak sendiri.

Patung Sangkalon melambangkan suatu sikap atau nilai budaya demi tegaknya keadilan. Sampai anak kandung sendiri harus dibunuh kalau ternyata melakukan kesalahan, tidak pilih kasih. Adanya Patung Sangkalon, bukti adanya kearifan budaya lokal yang hidup pada masyarakat Mandailing. Seharusnya diwariskan secara terus-menerus sampai hari ini, karena merupakan peninggalan nenek moyang Bangsa Indonesia. Hal itu dilakukan para raja-raja yang memimpin kerajaan di Mandailing, kepemimpinan yang jujur, adil dan bijaksana.

Seharusnya juga diwariskan hari ini kepada para pemimpin negeri ini bahwa semua orang sama kedudukannya di mata hukum.

Anak Sendiri Juga Dihukum

Anggapan raja atau kerajaan memerintah sewenang-wenang, kebal hukum ternyata tidak benar. Patung Sangkalon yang lahir dari kearifan budaya lokal itu tumbuh dan berkembang pada kerajaan di Mandailing Natal bahwa hukum itu berlaku bagi semua orang yang ada di kerajaan itu tanpa terkecuali. Hukum dijalankan raja di kerajaan berkeadilan bagi semua orang yang ada di kerajaannya. Artinya, hukum menjadi panglima tertinggi sehingga keadilan yang diinginkan semua orang tercipta. Pada zaman itu hukum memiliki kedudukan sangat penting. Menyatu dengan kepercayaan, moral dan adat-istiadat atau tradisi masyarakat yang turun-temurun. Ada ungkapan Adat Dohot Ugari atau artinya adat dan norma-norma. Ada juga ungkapan Patik dohot Uhum, artinya peraturan dan hukum.

Kedudukan hukum waktu itu sangat tegas dan jelas. Pranata hukum menyatu dalam kehidupan masyarakat, tidak berdiri sendiri melainkan bagian yang tidak terpisahkan dengan unsur kebudayaan Mandailing. Masyarakat Mandailing waktu itu sangat erat hubungannya dengan hukum. Penerapannya sangat jelas sebagaimana tertuang dalam ungkapan muda tartiop opatna, ni paspas naraco holing, ni ungkap buntil ni adat, ni suat dokdok ni hasalaan, ni dabu utang dohot baris. Artinya mengadili seseorang harus didasarkan syarat. Pedoman dasar, syarat yang telah terpenuhi yakni naraco holing atau pertimbangan yang seadil-adilnya. Dengan melihat ketentuan adat-istiadat, mengukur beratnya kesalahan dalam menjatuhkan hukuman.


Sumber : Via Facebook

Sejarah Kerajaan Pannai di Tapanuli Selatan

Sejarah Kerajaan Pannai di Tapanuli Selatan

- Candi Bahal

Radar Mandailing





Kerajaan Pannai atau Pane merupakan kerajaan Buddhis yang pernah berdiri pada abad ke-11 sampai ke-14 di pesisir timur Sumatera Utara. Lokasi kerajaan ini tepatnya di lembah sungai Pannai dan Barumun yang mengalir di Kabupaten Labuhan Batu dan Kabupaten Tapanuli Selatan sekarang. Kerajaan ini kurang dikenal akibat minimnya sumber sejarah dan sedikitnya prasasti yang menyebutkan kerajaan ini.

Menurut para sejarawan sebagian besar prasasti di Candi ini di ambil oleh penjajah Kolonial Belanda dan dibawa ke Negeri Belanda. Sebagai kerajaan kecil, kemungkinan kerajaan Pannai merupakan kerajaan bawahan dari Kerajaan Sriwijaya kemudian Dharmasraya.

Meskipun kurang dikenal,kerajaan Buddha beraliran Tantrayana ini meninggalkan peninggalan belasan candi-candi Buddha yang tersebar di kawasan Percandian Padanglawas, yakni sebanyak 16 bangunan, salah satunya Candi Bahal.

Sumber : Via Facebook

Daftar Marga di Mandailing Natal

DAFTAR MARGA MANDAILING

- Radar Mandailing





Mandailing adalah salah satu suku Batak bertempat tinggal di pendalaman pesisir pantai Barat Pulau Sumatera. Termasuk suku Batak karena menggunakan bahasa yang hampir mirip dengan bahasa Batak Toba dan Batak Angkola, serta Batak Simalungun. Begitu pula dengan adat istiadatnya yang Patrilinealistik. Juga menggunakan marga yang diturunkan secara turun temurun.

Sebagian besar dari marga-marga tersebut terdapat pula di belahan Toba, Angkola, Simalungun. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa tentulah di masa yang lalu terdapat hubungan kekerabatan yang terlupakan oleh sejarah tertulis.

Dalam sejarahnya masyarakat Mandailing hidup dengan sistem pemerintahan tradisional, tradisi persawahan, pengembalaan kerbau, pelombongan/penambangan mas, persenjataan, dan perairan. Kaya dengan mitologi asal-usul marga, Mandailing tercatat dalam kitab Nagarakertagama pada abad ke 14 Masehi, namun sulit mendapatkan catatan sejarah mengenai mereka.

Tanah Mandailing dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :

1. Mandailing Godang

2. Mandailing Julu

Masyarakat Mandailing diatur dengan menggunakan sistem sosial Dalian na Tolu (Tumpuan Yang Tiga) merujuk kepada aturan kekerabatan marga yang diikat meneruskan perkawinan dan prinsip Olong Dohot Domu (Kasih Sayang dan Keakraban).

Sistem pemerintahan Mandailing bersifat demokratis dan egalitar. Lembaga pemerintahan Na Mora Na Toras (Yang Dimuliakan dan Dituakan) memastikan keadilan dan kepemimpinan yang dinamis.

Gordang Sambilan adalah gendang adat yang terdiri dari sembilan buah gendang yang relatif besar dan panjang, dan digunakan dalam upacara perkawinan, penabalan dan kematian.

Sabe-Sabe selendang istiadat dipakai untuk upacara adat dan untuk tarian adat yang disebut Tor-Tor.

MARGA-MARGA MANDAILING

Ada yang memperkirakan bahwa di Mandailing terdapat 13 marga. Marga-marga itu ialah :

1. Hasibuan
2. Dalimunte
3. Mardia
4. Pulungan
5. Lubis
6. Nasution
7. Rangkuti
8. Parinduri
9. Daulay
10. Matondang
11. Batu Bara
12. Tanjung
13. Lintang

Lumrahnya setiap marga mempunyai nenek moyang yang sama. Tetapi ada juga sejumlah marga yang berlainan nama tetapi mempunyai nenek moyang yang sama. Misalnya, marga Rangkuti dan Parinduri, Pulungan, Lubis dan Harahap, Daulay, Matondang serta Batu Bara.

Melalui tarombo atau silsilah keturunan dapat diketahui nenek moyang bersama sesuatu marga. Dan dari jumlah generasi yang tertera dalam tarombo dapat pula diperhitungkan berapa usia suatu marga atau sudah berapa lama suatu marga tinggal di Mandailing. Dari banyak marga tersebut, terdapat dua marga besar yang berkuasa, yang masing-masing menduduki sebuah wilayah luas yang bulat. Marga-marga penguasa itu adalah sebagai berikut :

Nasution di Mandailing Godang
Lubis di Mandailing Julu

Menurut Abdoellah Loebis, marga-marga di Mandailing dibedakannya berdasarkan wilayah Tanah Mandailing.

1. Mandailing Julu dan Pakantan adalah seperti berikut:

- Lubis (yang terbagi kepada Lubis Huta Nopan dan Lubis Singa Soro).
- Nasution
- Parinduri
- Batubara
- Matondang
- Daulay
- Nai Monte
- Hasibuan
- Pulungan

2. Marga-marga di Mandailing Godang pula adalah :

- Nasution yang terbagi atas Nasution Panyabungan, Tambangan, Borotan, Lantat, Jior, Tonga, Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain.

- Lubis
- Hasibuan
- Harahap
- Batu Bara
- Matondang (keturunan Hasibuan)
- Rangkuti
- Mardia
- Parinduri
- Batu na Bolon
- Pulungan
- Rambe
- Mangintir
- Nai Monte
- Panggabean
- Tangga Ambeng
- Margara.