Cari ...

05 Maret 2022

Kisah dua orang pemuda tersesat dihutan Sumatera hingga menikah dengan Suku Mante

Dua orang pemuda bernama Barata dan Benot nekat menjelajahi hutan tropis Sumatera pada tahun 2010. Mereka memulai penjelajahan dengan modal nekat dan perbekalan yang seadanya. Setelah dua hari didalam hutan mereka mengalami musibah dimana Barata, terjatuh kedalam jurang sedalam 17 meter didalam hutan. 

Dan terjatuhnya Barata membuat Benot panik sehingga mencoba membantu dan menolong Barata dengan nekat menuruni jurang tersebut dengan berpegangan pada akar-akar pohon. Akan tetapi nasib malang menimpa Benot akar pohon yang dipegangnya tidak kuat menahan beban berat badan Benot hingga membuat dia terjatuh juga kedalam jurang tersebut hingga membuat mereka tak sadarkan diri.

Setelah beberapa hari mereka tersadar sudah berada disebuah kampung kecil dipedalaman hutan yang dihuni oleh Suku Mante. Mereka berhasil selamat setelaah Suku Mante berhasil menyelamatkan mereka. 

Barata dan Benot kemudian hidup dan menikah dengan gadis kampung tersebut dan hidup dihutan hingga akhir hayatnya.

05 April 2021

Aek Batu Bontar wisata baru di tanah Mandailing


Panyabungan Timur - Ekowisata Aek Batu Bontar di Kelurahan Gunung Baringin yang dibangun atas inisiatif dari pemuda desa tersebut, kini telah berhasil menjelma menjadi wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal terutama di akhir pekan.

Di Ekowisata Aek Batu Bontar ini kita akan disuguhkan oleh air terjun kecil yang bertingkat dipenuhi pohon-pohon yang rindang dan hijau.

Selain itu, tempat wisata ini juga dilengkapi tempat pemandian anak-anak dengan berbagai tempat permainan didalamnya.

Modal Gotong royong, Pemuda kampung ini sukses buka objek wisata

Mandailing Natal - Para pemuda desa yang tergabung dalam organisasi Persatuan Naposo Nauli Bulung Kelurahan Gunung Baringin berhasil membuat sebuah tempat wisata.
Wisata ini berkonsep alam yang indah, alami yang dialiri sungai kecil yang jernih dan unik. Sebelum jadi tempat wisata lokasi ini sebelumnya hanyalah hutan yang jarang dilewati oleh manusia, kemudian disulap oleh para pemuda setempat menjadi wisata alam yang kini sudah ramai dikunjungi oleh wisatawan.

Dari informasi yang didapat dari ketua PNNB Gunung Baringin bersama Sekretaris, (Arifin dan Sudirman) " tempat wisata ini berkonsep alam yang dipergunakan sebagai Badan Usaha Milik Pemuda. Untuk membuat ini hanyalah bermodalkan semangat gotong royong bukan dari dana desa, ini murni dari kerja keras teman-teman pemuda disini, ujarnya". Dan hasil dari wisata ini nantinya akan digunakan untuk mendukung kegiatan dan pembangunan desa serta pemuda setempat.

03 Desember 2016

Sejarah Syekh Abdul Fattah di Bumi Mandailing!

Radar Mandailing

Panyabungan

Syekh Abdul Fattah



Agama Islam berkembang di Madina melalui ulama-ulama sufi. Para ulama di daerah ini ada yang belajar di Pantai Barat dan Pantai Timur, kemudian mereka mengembangkan agama islam di Natal dan Mandailing.

Seorang ulama besar penyebar agama Islam di Natal, adalah Syekh Abdul Fattah bermarga Mardia. Ia lahir kira-kira tahun 1765 dan wafat dalam usia 90 tahun di Pagaran Sigatal, kira-kira tahun 1855. Gurunya adalah Syekh Zainal Abidin (Hasibuan).

Salah satu hal yang menarik pada pengembangan Islam di Madina ialah apa yang dilakukan oleh Sutan Kumala Yang Dipertuan Hutasiantar. Raja kharismatik ini menjemput Syekh Zainal Abidin ke Barumun untuk mengembangkan agama Islam di Madina.

Literatur Belanda melaporkan, bahwa Sutan Kumala Yang Dipertuan Hutasiantar adalah seorang ulama. Mereka menjulukinya sebagai raja ulama. Ketika masih belia, Syekh Abdul Fattah tinggal dirumah Tuan Syekh Zainal Abidin sambil memperdalam agama Islam dan tasawuf.

Syekh Abdul Fattah kemudian menyebarkan agama Islam bukan saja didaerah Mandailing, tetapi juga kawasan Pantai Barat khususnya Natal. Kota pelabuhan ini merupakan pintu masuk agama Islam mulai dari pelajaran membaca kitab suci Al-Quran sampai pada hukum dan sufisme.

Syekh Abdul Fattah memilih tempat untuk membangun kediamannya di kawasan perbukitan kira-kira 2 kilometer dari jalan raya menuju Natal di timur Kampung Sawah sekarang ini. Bukit bukit itu memilih celah, rura dalam bahasa Mandailing.

Pada tanggal 17 Desember 2003 penulis mendatangi rura itu. Penulis mendapati dan menyaksikan mata air jernih keemasan keluar dari rongga-rongga batu padas di tempat ini. Mata air itu dikenal sebagai Sumur Batu. Syekh Abdul Fattah berdiam di sekitar mata air ini. Kejernihan dan kesucian mata air Sumur Batu tetap terjaga.

Syekh Abdul Fattah membuat sebuah kulah berbentuk bundar berdiameter kira-kira 90 cm. Air bening dan sejuk yang keluar dan mata air itu dialirkan ke kulah melalui alur pada batu padas. Tuan Syekh Abdul Fattah mandi dan mengambil wudhu dari kulah bundar, sehingga mata air yang keluar dari pori-pori batu tidak tercemar.

Menurut juru kunci makam Syekh Abdul Fattah di Pagaran Sigatal (kuncen) Zubeir Hasibuan gelar Lobe Zakaria ada enam makam kerabat Syekh Abdul Fattah disekitar sumur batu. Satu diantaranya adalah makam istri Syekh Abdul Fattah. Kuncen Zubeir Hasibuan adalah generasi ketiga setelah Syekh Zainal Abidin, kakeknya adalah Haji Zakaria, putra tunggal Syekh Zainal Abidin.

Sumur Batu dipandang sebagai tempat keramat oleh orang Natal dan sekitarnya. Tempat ini diziarahi untuk menunjukkan penghormatan peziarah kepada Ulama besar ini. Tidak jarang pula para peziarah berdoa dan bernazar ditempat ini. Syekh Abdul Fattah diakui sebagai penjaga kedamaian kesejukan rohani orang Natal.

Dahulu, jika orang Natal berniat hendak merantau mereka senantiasa menziarahi Sumur Batu. Kekeramatan Sumur Batu menurut orang Natal terdapatnya beberapa jenis ikan, bahkan jenis ikan laut dan kura-kura kecil di Sumur Batu. Ikan dan kura-kura bahkan tidak pernah bertambah dan berkurang atau bahkan bertambah besar. Ukurannya tetap saja. Menurut cerita Zubeir Hasibuan gelar Lobe Zakaria, pernah ada dua orang transmigran mengambil, memasak dan memakan ikan dari Sumur Batu itu. Sesudah itu tidak lama mereka meninggal dunia.

Kekeramatan Syekh Abdul Fattah yang terkenal di Mandailing antara lain, ketika sedang dicukur atau dipangkas di Masjid Hutasiantar, pada suatu jumat tiba-tiba sontak berkata "mosok mokka" atau dalam bahasa Indonesia artinya Mekkah terbakar kemudian pada saat bersamaan jamaah haji asal Mandailing yang sedang menunaikan ibadah Haji di Kota Mekkah tanpa sengaja melihat Tuan Syekh Abdul Fattah ikut membantu jamaah haji lainnya memadamkan kebakaran.

Sesudah kebakaran tersebut berhasil dipadamkan Syekh Abdul Fattah kembali ke mesjid Hutasiantar dengan badan penuh abu dan basah kuyup dan melanjutkan proses mengukurnya dengan memakai golok.

Setelah pulang menunaikan ibadah Haji jamaah asal Mandailing yang melihat Tuan Syekh Abdul Fattah di Mekkah itu pun menceritakan kejadian tersebut di Mandailing dan serta membawa sarang golok Tuan Syekh Abdul Fattah yang tertinggal di Kota Mekkah pada saat ikut membantu memadamkan kebakaran tersebut. Makam Syekh Abdul Fattah terletak di Desa Pagaran Sigatal sekitar 6 Km dari pusat Kota Panyabungan.