Cari ...

15 November 2016

Patung Sangkalon Salah Satu Bukti Peninggalan Sejarah di Mandailing

Bukti Peninggalan Sejarah di Mandailing

Radar Mandailing


Patung Sangkalon biasa didudukkan di depan rumah raja-raja di Mandailing, lambang keadilan masyarakat Mandailing dahulu dilaksanakan di daerah itu. Patung yang dipanggil “Si pangan anak si pangan boru, ”Artinya, “Si pemakan anak lelaki, si pemakan anak perempuan” ini perumpamaan tentang hukum dan keadilan harus ditegakkan meskipun terpaksa membunuh anak sendiri.

Patung Sangkalon melambangkan suatu sikap atau nilai budaya demi tegaknya keadilan. Sampai anak kandung sendiri harus dibunuh kalau ternyata melakukan kesalahan, tidak pilih kasih. Adanya Patung Sangkalon, bukti adanya kearifan budaya lokal yang hidup pada masyarakat Mandailing. Seharusnya diwariskan secara terus-menerus sampai hari ini, karena merupakan peninggalan nenek moyang Bangsa Indonesia. Hal itu dilakukan para raja-raja yang memimpin kerajaan di Mandailing, kepemimpinan yang jujur, adil dan bijaksana.

Seharusnya juga diwariskan hari ini kepada para pemimpin negeri ini bahwa semua orang sama kedudukannya di mata hukum.

Anak Sendiri Juga Dihukum

Anggapan raja atau kerajaan memerintah sewenang-wenang, kebal hukum ternyata tidak benar. Patung Sangkalon yang lahir dari kearifan budaya lokal itu tumbuh dan berkembang pada kerajaan di Mandailing Natal bahwa hukum itu berlaku bagi semua orang yang ada di kerajaan itu tanpa terkecuali. Hukum dijalankan raja di kerajaan berkeadilan bagi semua orang yang ada di kerajaannya. Artinya, hukum menjadi panglima tertinggi sehingga keadilan yang diinginkan semua orang tercipta. Pada zaman itu hukum memiliki kedudukan sangat penting. Menyatu dengan kepercayaan, moral dan adat-istiadat atau tradisi masyarakat yang turun-temurun. Ada ungkapan Adat Dohot Ugari atau artinya adat dan norma-norma. Ada juga ungkapan Patik dohot Uhum, artinya peraturan dan hukum.

Kedudukan hukum waktu itu sangat tegas dan jelas. Pranata hukum menyatu dalam kehidupan masyarakat, tidak berdiri sendiri melainkan bagian yang tidak terpisahkan dengan unsur kebudayaan Mandailing. Masyarakat Mandailing waktu itu sangat erat hubungannya dengan hukum. Penerapannya sangat jelas sebagaimana tertuang dalam ungkapan muda tartiop opatna, ni paspas naraco holing, ni ungkap buntil ni adat, ni suat dokdok ni hasalaan, ni dabu utang dohot baris. Artinya mengadili seseorang harus didasarkan syarat. Pedoman dasar, syarat yang telah terpenuhi yakni naraco holing atau pertimbangan yang seadil-adilnya. Dengan melihat ketentuan adat-istiadat, mengukur beratnya kesalahan dalam menjatuhkan hukuman.


Sumber : Via Facebook