Cari ...

14 November 2016

Sejarah dan Adat Mandailing

Radar Mandailing

Sejarah dan Adat Mandailing

Kabupaten daerah tingkat II Mandailing Natal, merupakan kabupaten paling selatan dari provinsi daerah tingkat I Sumatera Utara yang dibentuk berdasarkan Undang-undang RI No.12 tahun 1998 dan di syahkan pada tanggal 23 November 1998. Kabupaten ini adalah hasil pemekaran dari wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Selatan.

Mandailing memiliki potensi wilayah yang beranekaragam, dengan sumber daya yang cukup luas dan subur untuk dikembangkan menjadi areal pertanian seperti kelapa, kelapa sawit, karet, padi, kulit manis, buah jeruk serta pertambakan ikan. Potensi lain adalah adanya deposit mineral, seperti emas, batubara, timah, belerang, besi, tembaga, seng, erak, timbal, kaolin dan marmar.

Keberadaan Mandailing sudah diperhitungkan sejak abad ke-14 dengan dicantumkannya nama Mandailing dalam sumpah Palapa gajah mada pada syair ke-13 Kakawin Negarakertagama hasil karya Prapanca sebagai daerah ekspansi Majapahit sekitar tahun 1287 Caka (1365) ke beberapa wilayah di luar Jawa.



Mandailing pada masa tersebut diperkirakan sudah berkembang, dengan kondisi masyarakat yang homogen, tumbuh dan terhimpun dalam suatu ketatanegaraan kerajaan dengan kebudayaannya yang sudah tinggi di zaman tesebut. Berabad sebelum Prapanca, di Mandailing telah tumbuh masyarakat berbudaya tinggi (berdasarkan catatan sejarah serangan Rajendra Cola dari India pada tahun 1023 M ke Kerajaan Panai) di hulu sungai Barumun atau di sepanjang aliran sungai Batang Pane mulai dari Binanga, Portibi di Gunung Tua hingga lembah pegunungan Sibual-buali di Sipirok. Hal ini ditandai dengan adanya masyarakat bermarga pane di Sipirok, Angkola dan Mandailing.

Dalam buku sejarah Batak yang dituliskan pada kesusasteraan klasik Toba Tua (Tonggo-tonggo Siboru Deak parujar), juga telah disebut nama Mandailing sebagai tempat asal nenek moyang Suku Batak Toba. Diperkirakan, Tonggo-tonggo tersebut diciptakan setelah kelahiran si raja Batak (generasi ke-6 Siboru Deakparujar dan Siraja Odap-odap) pada tahun 1305 M. Siraja Batak diduga tinggal di Mandailing yang kemudian pindah ke tanah Toba dan terus berkembang. Hal ini juga dipertegas oleh Z. Pangaduan lubis dalam bukunya ‘Kisah Asal-usul Marga di Mandailing’. Nama Mandailing diduga berasal dari kata Mandehilang (bahasa Minangkabau, artinya ibu yang hilang), kata Mundahilang, kata Mandalay (nama kota di Burma) dan kata Mandala Holing (nama kerajaan di Portibi, Gunung Tua) Munda adalah nama bangsa di India Utara, yang menyingkir ke Selatan pada tahun 1500 SM karena desakan Bangsa Aria. Sebagian bangsa Munda masuk ke Sumatera melalui pelabuhan Barus di Pantai Barat Sumatera. Mandailing memiliki riwayat asal usul marga yang diduga berawal sejak abad ke 9-10 SM.

Mayoritas marga yang ada di Mandailing adalah Lubis dan Nasution. Nenek Moyang Marga Lubis yang bernama Angin Bugis berasal dari Sulawesi Selatan. Angin Bugis atau Sutan Bugis berlayar dan menetap di Hutapanopaan (sekarang Kotanopan) dan mengembangkan keturunannya, sampai pada anak yang bergelar Namora Pande Bosi III. Marga Hutasuhut adalah generasi berikutnya dari keturunan Namora Pande Bosi III, yang berasal dari ibu yang berbeda dan menetap di daerah Guluan Gajah. Marga Harahap dan Hasibuan juga merupakan keturunan Namora Namora Pande Bosi III yang menetap di daerah Portibi, Padang Bolak. Marga Pulungan berasal dari Sutan Pulungan, yang merupakan keturunan ke lima dari Namora Pande Bosi dengan istri pertamanya yang berasal dari Angkola.

Sedangkan pembawa marga Nasution adalah Baroar Nasakti, anak hasil pernikahan antara Batara Pinayungan (dari kerajaan Pagaruyung) dengan Lidung Bulan (adik perempuan Sutan Pulungan) yang menetap di Penyabungan Tonga. Moyang Marga Rangkuti dan Parinduri adalah Mangaraja Sutan Pane yang berasal dari kerajaan Panai, Padang Lawas. Keturunan Sutan Pane, DatuJanggut Marpayung Aji dijuluki ‘orang Nan Ditakuti’, dan berubah menjadi Rangkuti yang menetap di Huta Lobu Mandala Sena (Aek Marian). Keturunan Datu Janggut Marpayung Aji tersebar ke beberapa tempat dan salah satunya ke daerah Tamiang, membawa marga Parinduri.



Nenek moyang marga Batubara, Matondang dan Daulay bernama Parmato Sopiak dan Datu Bitcu Rayo (dua orang pemimpin serombongan orang Melayu) berasal dari Batubara, Asahan.Selain masyarakat bermarga, daerah Mandailing telah didiami tiga suku lainnya, jauh sebelum abad ke-10, yaitu Suku Sakai, Suku Hulu Muarasipongi dan Suku Lubu Siladang. Suku Sakai bermukim di hulu-hulu sungai kecil, dan beberapa juga ditemukan di daerah Dumai dan Duri (Riau) serta Malaysia. Suku Hulu Muarasipongi diduga berasal dari Riau, sedangkan bahasa dan adatnya, mirip dengan bahasa dan adat Riau serta Padang Pesisir. Suku Lubu Siladang bermukim di lereng Gunung Tor Sihite, bahasa dan adatnya berbeda dengan bahasa dan adat Mandailing dan Melayu. Begitu pula ciri fisiknya yang tegap, kekar, mata bulat berwarna coklat tua, dan sikap yang ramah, rajin, selalu merendahkan diri.

Masyarakat Mandailing di dalam pelaksanaan adat dan hukum adatnya menggunakan satu struktur sistem adat yang disebut Dalihan Natolu (tungku yang tiga), yang mengandung arti bahwa masyarakat Mandailing menganut sistem sosial yang terdiri atas :

1). Kahanggi, (kelompok orang semarga).

2). Mora (kelompok kerabat pemberi anak gadis).

3). Anak Boru (kelompok kerabat penerima anak gadis).

Ketiga unsur ini senantiasa selalu bersama dalam setiap pelaksanaan kegiatan adat, seperti Horja (pekerjaan), yaitu tiga jenis :

(a) Horja Siriaon adalah kegiatan kegembiraan meliputi upacara kelahiran (tubuan anak), memasuki rumah baru (Marbongkot bagas na imbaru) dan mengawinkan anak (haroan boru).

(b) Horja Siluluton (upacara Kematian).

(c) Horja Siulaon (gotong royong).

Sistem pemerintahan di Mandailing, sebelum datangnya Belanda merupakan pemerintahan yang dipimpin oleh pengetua-pengetua adat, yaitu raja dan Namora Natoras sebagai pemegang kekuasaan dan adat.

Raja di Mandailing terdiri atas beberapa jenis, yaitu :

- Panusunan (raja tertinggi).

- Ihutan (di bawah Panusunan).

- Pamusuk (raja satu huta, tunduk pada Panusunan dan Pamusuk).

- Sioban Ripe (di bawah raja Pamusuk).

- Suhu (di bawah Pamusuk dan Sioban Ripe, tetapi tidak terdapat di semua Huta).

Semua raja Panusunan yang ada di Mandailing berasal dari satu keturunan yaitu marga Lubis di Mandailing Julu dan marga Nasution di Mandailing Godang yang masing-masing berdaulat penuh di wilayahnya.

Namora Natoras terdiri atas :

- Namora (orang yang menjadi kepala dari tiap parompuan kaum kerabat raja yang merupakan kahanggi raja).

- Natoras (seseorang yang tertua dari satu parompuan).

- Suhu (orang yang semarga dengan Raja Panusunan/Pamusuk tetapi bukan satu keturunan Raja).

- Bayo-bayo Nagodang (mereka yang tidak semarga dengan raja, yang datang bersama-sama pada waktu tertentu ke huta tersebut).

Sumber : Berbagai Situs